Halaman

Senin, 24 September 2012

Organisasi OKI

Latar Belakang Didirikannya OKI
imagesOrganisasi Konferensi Islam (OKI) merupakan organisasi internasional non militer yang didirikan di Rabat,Maroko pada tanggal 25 September 1969. Dipicu oleh peristiwa pembakaran Mesjid Al Aqsha yang terletak di kota Al Quds (Jerusalem) pada tanggal 21 Agustus 1969 telah menimbulkan reaksi keras dunia, terutama dari kalangan umat Islam. Saat itu dirasakan adanya kebutuhan yang mendesak untuk mengorganisir dan menggalang kekuatan dunia Islam serta mematangkan sikap dalam rangka mengusahakan pembebasan Al Quds.
Atas prakarsa Raja Faisal dari Arab Saudi dan Raja Hassan II dari Maroko, dengan Panitia Persiapan yang terdiri dari Iran, Malaysia, Niger, Pakistan, Somalia, Arab Saudi dan Maroko, terselenggara Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) Islam yang pertama pada tanggal 22-25 September 1969 di Rabat, Maroko. Konferensi ini merupakan titik awal bagi pembentukan Organisasi Konferen

  Tujuan Didirikannya OKI

A. Memperkuat/memperkokoh :
1) Solidaritas diantara negara anggota;
2) Kerjasama dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan iptek.
3) Perjuangan umat muslim untuk melindungi kehormatan kemerdekaan dan hak- haknya.
B. Aksi bersama untuk :
1) Melindungi tempat-tempat suci umat Islam;
2) Memberi semangat dan dukungan kepada rakyat Palestina dalam memperjuangkan haknya dan kebebasan mendiami daerahnya.
C. Bekerjasama untuk :
1) menentang diskriminasi rasial dan segala bentuk penjajahan;
2) menciptakan suasana yang menguntungkan dan saling pengertian diantara negara anggota dan negara-negara lain.

 Kiprah OKI dalam Dunia Internasional
Perdana Menteri Malaysia Abdullah Badawi yang juga menjabat sebagai Ketua Organisasi Konferensi Islam berpendapat, kekuatan ekonomi negara-negara anggota OKI, menjadi salah faktor utama yang akan menentukan posisi OKI di dunia internasional. Kekuatan ekonomi negara-negara anggotanya yang akan menambah kekuatan OKI dan membuat suara OKI lebih berpengaruh dalam pergaulan dunia internasional Berbagai permasalahn terus
Ada satu hal yang menjadi perhatian serius para pakar. Yaitu reformasi OKI. Di hadapan problema umat yang sedemikian kompleks ini, OKI sebagai organisasi keislaman terbesar sedunia harus mereformasi diri hingga problem-problem itu mendapatkan penyelesaian yang kontekstual.
Reformasi OKI tersebut setidaknya menyangkut dua hal mendasar, yaitu visi dan keanggotaan. Dari segi visi, OKI sebenarnya “berwajah” Islam politik. Sebab, OKI (secara historis) lahir (25/1969 di Rabat, Maroko) untuk merespons peristiwa politik, yakni pembakaran Masjid Al-Aqsha (21/8/1969) oleh ekstremis Yahudi.
Karena itu, bisa dipahami bahwa permasalahan Palestina selalu menjadi agenda utama pada setiap pelaksanaan konferensi OKI. Baik yang berbentuk konferensi tingkat tinggi (KTT), konferensi tingkat Menlu (KTM), maupun konferensi luar biasa.
Pada titik itu, di satu sisi, OKI tidak berbeda dari lembaga-lembaga politik berkelas dunia seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau Liga Arab. Perbedaannya, OKI membatasi diri untuk negara-negara berpenduduk Islam. Di sisi lain, OKI telah menjadikan Islam sebagai kekuatan seperti gerakan Islamis lainnya selama ini.
Perbedaannya, OKI menjadikan Islam sebagai kekuatan untuk membentengi dan membela umat Islam di mana pun. Sementara itu, gerakan Islamis bertujuan menerapkan syariat Islam atau negara Islam. kesalahan paling fatal yang pernah dilakukan manusia adalah pemaknaan agama dengan kekuatan. Dan, diakui atau tidak, pemaknaan agama sebagai kekuatan terjadi hampir merata di semua agama. Sehingga, suatu agama menjadi ancaman bagi agama yang lain. Relasi antarumat beragama pun terjebak dalam kecurigaan, ketegangan, bahkan kekerasan.
Pada perkembangan berikutnya, pemaknaan tersebut melahirkan terma politik yang “diagamakan”. Misalnya, istilah mayoritas dan minoritas, kemudian disebut “agama mayoritas” dan “agama minoritas’. Karena pemaknaan tersebut, Yahudi menjadi Zionis, Kristen menjadi asosial, dan Islam menjadi tak terpisahkan dari kekerasan.
Keanggotaan OKI juga menjadi permasalahan tersendiri. Sebagaimana dimaklumi, OKI menetapkan negara-negara berpenduduk muslim sebagai syarat utama menjadi anggota tetapnya. Bukan aliran atau sekte. Hingga saat ini, sudah 59 negara berpenduduk muslim yang bergabung dengan OKI.
OKI pun menjadi elitis dan eksklusif. Menjadi elitis karena OKI hanya melibatkan pihak-pihak pengambil kebijakan seperti kepala negara dan menteri. Hal tersebut terlihat jelas dalam setiap konferensi OKI, baik yang bersifat reguler (tiga tahun sekali) maupun darurat. Kalaupun melibatkan pihak lain seperti Sekjen PBB, kalangan intelektual, dan lainnya, itu tak lebih sekadar “tamu kehormatan”. Mereka tidak mempunyai hak untuk masuk lebih jauh ke dalam pembahasan konferensi dalam bentuk kebijakan.
Bahkan, OKI juga menjadi eksklusif. Tak hanya bagi “sosok lain” yang tidak “islami”, melainkan juga terhadap umat Islam. Tokoh-tokoh muslim pada tingkat lokal (darah) -apalagi umat Islam- tidak bisa ambil bagian dalam perumusan masalah serta pengambilan kebijakan. Padahal, bila mau jujur, para intelektual muslim secara umum dan yang di daerah secara khusus, maaf, jauh lebih penting daripada para pengambil kebijakan itu. Alasannya sederhana. Secara akademis, mereka cukup merasakan “asam garam” kehidupan umat Islam dalam menghadapi berbagai problema. Di sisi lain, mereka lebih dekat dengan masyarakat. Karena itu, mereka cukup memahami problem keumatan yang selama ini bergulir di masyarakat.
Dalam kondisi seperti itu, OKI tak hanya gagal menyatukan umat Islam, tapi telah menjadi “serpihan”, bahkan penyebab perpecahan tersebut. OKI gagal menjadi “payung besar” yang bisa menaungi umat Islam di ragam sekte, aliran, negara, suku, dan budayanya. Sebaliknya, OKI justru memperbanyak angka sekte dalam Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar